Wisata Halal, Perspektif Bisnis Industri Pariwisata

Diposkan: 08 Sep 2019 Dibaca: 999 kali
UKMKOTAMEDAN.COM, SUMATERA Utara (Sumut) dibuat heboh dengan reaksi sebagian warga dengan mencuatnya wacana pemberlakukan wisata halal di Danau Toba.
Mereka menolak rencana yang awalnya disebut datang dari Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi itu. Meski belakangan Edy memastikan tak pernah keluar dari mulutnya kata-kata wisata halal di Danau Toba.
Padahal, sejatinya sejak 2017, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menekankan pentingnya wisata halal di kawasan Danau Toba. Namun, entah mengapa menjadi polemik saat Edy yang dituding mencetuskan wisata halal di Danau Toba.
Saat kunjungannya ke Sumut tahun 2017, Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya saat itu aspek kehalalan tersebut telah menjadi perhatian dalam kepariwisataan di Danau Toba.
Apalagi mayoritas wisatawan mancanegara yang sering berkunjung ke Danau Toba berasal dari Malaysia yang umumnya beragama Islam.
"Jadi, sekitar 42 persen wisatawan ke Danau Toba itu dari Malaysia," kata Arief Yahya di Medan, seperti dilansir Antara.
Menurut Arief Yahya, penekanan mengenai pentingnya wisata halal di Danau Toba sudah dilakukan dan direspons dengan baik oleh pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Samosir.
Lalu, seperti apakah pentingnya wisata halal di satu kawasan wisata?
Berikut ini penuturan pendapat dari Solahuddin Nasution, SE, MSP, Ketua Association of The Indonesian Tour & Travel Agencies (ASITA) Sumatera Utara.
Sebenarnya wisata halal bukan hal yang baru. Wisata halal ini lebih dulu dikenal di negara-negara NON OKI (Non Organisasi Kerjasama Islam) yang melihat potensi pertumbuhan wisata muslim yang sangat pesat dari segi ekonomi. Wisata halal diciptakan untuk melayani kebutuhan wisatawan muslim di negara-negara NON OKI seperti menyediakan restoran halal dan tempat salat dalam perjalanan.
Wisata halal dimaknai juga sebagai "muslim friendly tourism". Walaupun keduanya tidak persis sama. Pendekatan 'Muslim friendly' lebih longgar, lebih 'soft', dimaksudkan sebagai kemudahan bagi wisatawan muslim untuk mendapatkan akses restoran halal dan fasilitas tempat salat ketika berkunjung ke suatu destinasi.
Lalu kemudian hal ini menjadi isu sensitif ketika akan diterapkan di negara yang mayoritas muslim karena sejauh ini pemerintah belum menetapkan terminologi, keriteria dan aturan-aturan yg mengikat dalam menetapkan dan mengembangkan wisata halal atau 'muslim friendly tourism' ini.
Indonesia memperoleh predikat negara destinasi halal terbaik dunia pada tahun 2019 dalam Global Muslim Travel Index berdasarkan pemeringkatan yg dikeluarkan oleh Master Card-CrascentRating yg bermarkas di Uni Emirat Arab, oleh sebab itu sudah seharusnya memiliki payung hukum tentang wisata halal, sehinga tidak menimbulkan mis-interpretasi, mispersepsi di tengah-tengah masyarakat dan tidak minimbulkan salah kaprah dalam menyikapi dan mengembangkannya.
Perlu membangun kesepahaman diantara pemangku kepentingan. Pemerintah harus mampu memberikan penjelasan dan meyakinkan masyarakat bahwa yang dimaksudkan adalah hanya sebatas penyediaan fasilitas umum yang diperlukan oleh wisatawan muslim berupa restoran halal dan tempat sholat ketika berkunjung ke destinasi wisata. Jadi bukan merubah segala sesuatu yang non halal menjadi halal. Bukan juga semua asfek akan diatur berdasarkan syariah islam. Ketersediaan restoran halal dan non halal yang representative menjadi pilihan bagi wisatawan yang berkunjung sesuai keinginan dan selera masing-masing. Kebudayaan masyarakat setempat dan kearifan lokal tetap dibiarkan berkembang dan menjadi kekuatan pariwisata nasional.
Jadi tujuannya adalah untuk menambah segmen pasar, menggarap wisatawan muslim untuk meningkatkan jumlah kunjungan karena potensi pertumbuhannya cukup besar, maka perlu membuat mereka nyaman untuk meningkatkan rata-rata lama tinggal '(lenght of stay) agar wisatawan lebih banyak lagi membelanjakan uangnya di tempat yang dikunjungi dan masyarakat mendapatkan dampak positif secara ekonomi. Hanya sebatas itu.
Sebagai tuan rumah yang baik adalah sangat wajar kalau kita meyiapkan kebutuhan wisatawan, tidak saja untuk wisatawan muslim yang mencari restoran halal, tapi berlaku juga untuk segmen lain misalkan restoran yang menyiapkan vegetarian, chinese food, european food, dan lainnya sesuai dengan market yang ingin kita sasar.
Data yg dihimpun Global Muslim Travel Index jumlah wisatawan muslim pada tahun 2020 mencapai 158 juta diluar ibadah haji dan umroh. Pengeluaran mencapai US$.177 milliar atau sekitar Rp2.500 triliun pada tahun 2017. Diperkirakan akan melonjak hingga US$.300 milliar setara dgn Rp4.200 trilliun pada tahun 2026.
Global Muslim Travel Index 2019 menetapkan Singapura menduduki peringkat pertama sebagai 'muslim friendly countries ranking" dengan penduduk muslim 15 %, disusul oleh Thailand, Jepang, Inggris, Taiwan, Afrika Selatan, Hongkong, Korea Selatan, Prancis, Spanyol dan Philippine.
Kebijakan 'muslim friendly travel destintion" ini tidak menjadi ancaman bagi kebudayaan masyarakat dan kearifan lokal, bahkan menumbuhkan bisnis dan mata pencaharian bagi masyarakat setempat karena 'multiflier effect' dari perkembangan pariwisata dari segi ekonomi sangat luas. Sebagai destinasi wisata ketersediaan restoran halal dan fasilitas tempat sholat merupakan bagian dari amenitas yang dibutuhkan dalam pengembangan pariwisata. (*)