Di Tangan Marah Rusli, Ampas Kopi dan Teh Jadi Lukisan Bernilai Ratusan Juta

Di Tangan Marah Rusli,  Ampas Kopi dan Teh Jadi Lukisan Bernilai Ratusan Juta
Marah Rusli

Diposkan: 19 Sep 2018 Dibaca: 938 kali



UKMKOTAMEDAN.COM, MEDAN-Bahan bekas seperti ampas biasaya hanya akan berakhir di tong sampah. Namun bagi sebagian orang yang punya kreativitas tinggi, barang yang sudah tidak terpakai lagi mampu dikreasikan jadi barang bernilai ekonomis bahkan nilai seni yang tinggi.

Seperti yang dilakukan Marah Rusli (48 tahun),  ampas teh dan kopi dia sulap menjadi karya lukisan yang cantik, tidak kalah dengan karya pelukis yang lazimnya menggunakan kuas, cat, dan kanvas.

Ditemui di Bazaar UKM 2018 Kota Medan di Manhattan Time Square, Senin (17/9/2018), sejumlah lukisan berbagai ukuran dia pajang di salah satu stan. Jika dilihat, tidak ada perbedaan antara lukisan teh dan kopi hasil kepiawaian tangannya tersebut dengan lukisan pada umumnya.

Hanya, di lukisannya terdapat dua warna, coklat pekat kehitaman dan coklat agak terang, besar dengan lukisan yang pada umumnya kaya warna. Namun saat disentuh, barulah diketahui lukisan tersebut bukan terbuat dari aneka cat lukis karena teksturnya yang lebih kasar. Kepiawaannya merangkai ampas kopi dan teh berawal di tahun 2009 silam. Bersamaan dengan membuat lukisan dari pasir lantaran tinggal di pesisir, Belawan, secara otodidak dia belajar membuat lukisan dengan bahan yang kurang lazim tersebut hingga mahir seperti  sekarang

"Tahun 2009 saya mulai. Awalnya hanya hobi. Saya perlahan buat lukisan dari pasir. Tapi karena kurang peminat, 2013 lukisan pasir saya tinggalkan. Dari situ saya fokus buat lukisan teh dan kopi," ujarnya kepada ukmkotamedan.com, bersemangat.

Soal penamaan "Tea Art" kata dia bertujuan komersil. Kata seni teh yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menurutnya dilakukan agar lebih banyak lagi konsumen termasuk dari luar negeri yang mengenal karyanya tersebut.

Sejak awal dia menjelaskan, respons masyarakat atas karya lukis teh dan kopi cukup baik membuat asanya melambung setelah sebelumnya sempat mengalami stagnasi pada usaha percetakan yang digelutinya sehingga memutuskan untuk melukis dengan bahan pasir yang juga akhirnya dia tinggalkan.

Dengan modal keahlian dan keberanian mendatangi warung kopi hingga kafe untuk meminta ampas teh dan kopi sebagai bahan melukis, dia mengaku tidak banyak mengeluarkan modal. Para pemilik kafe dan warung malah dengan suka rela memberikan ampas yang sebelumnya hanya akan mereka buang ke tempat sampah.

Soal tema lukisan, selain panorama pedesaan, keindahan alam dan sosok orang, menurutnya, lukisan yang paling banyak peminat adalah yang memiliki hubungan dengan Kota Medan. Gedung Balai Kota, Menara Tirtanadi, Masjid Raya, Istana Maimun, hingga alat transportasi Kota Medan macam becak (dayung dan bermotor) angkutan kota seperti sudaco menjadi pilihannya.

"Awalnya melukis ikon Kita Medan, tujuannya agar bisa dikenal. Dan syukurnya, lukisan itu pula lah yang paling banyak dibeli," ucapnya.

Pria berkulit sawo matang ini mengaku tidak ada kesulitan yang berarti dalam membuat lukisan tersebut. Kendala yang dialami adalah cuaca dan angin. Dia mengaku, lebih mudah melukis saat cuaca panas dengan hembusan angin rendah. Karena jika cuaca lembab, akan berpengaruh pada bahan pembuat lukisan, kopi dan teh yang akan berdampak lembab pula. Satu lukisan menurutnya bisa diselesaikan antara dua hingga empat hari, tergantung ukuran .

Soal bahan, diakuinya dia tidak hanya menggunakan ampas teh dan kopi, tetapi juga bubuk kopi dan teh untuk membuat warna lukisan berbeda. "Jadi kalau warna lukisan itu agak lebih gelap, itu menggunakan teh atau kopi baru. Kalau yang warnanya agak terang baru pakai teh bekas.

"Saya lebih senang melukis saat cuaca hangat atau tidak hujan. Kalau untuk pengerjaan bisa memakan waktu sampai empat hari," ujar dia. Saat wawancara dengan dia, kebetulan satu lukisannya sudah terbeli dan dibawa pulang seorang konsumen.

Soal harga, ayah lima anak itu menyebutkan membanderol lukisannya mulai ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Ada saja yang laku kendati dia mengakui tidak punya gambaran tepat berapa pendapatan yang dia dapat selama sebulan.

Selain media internet, dia mengaku penjualan cukup bagus saat dia mengikuti pameran. Itu pula yang membuatnya semangat saat diundang untuk ikut serta di pameran baik itu dari pemerintahan maupun swasta.

Lukisannya tersebut kata dia pernah mendapat perhargaan Museum Rekor Indonesia (MURI). Berawal dari pihak PTPN IV yang memintanya membuat lukisan Kebun Teh Sidamanik berbahan teh dengan ukuran 4 x 12 meter di tahun 2014. Tidak itu saja, dia juga oleh PTPN IV tahun berikutnya juga ditantang membuat lukisan dari limbah sawit berukuran 4 x 12 dan mendapatkan penghargaan dunia.

"Untuk lukisan Kebun Teh Sidamanik saya dibayar Rp140 juta. Tidak puas, saya disuruh buat lukisan dari bahan limbah sawit, dihargai Rp240 juta. Keduanya dapat penghargaan nasional dan internasional. Sekarang lukisan tersebut dipajang di gedung MICC jalan Gagak Hitam. Lukisannya panel (bisa dipisah). Tapi jika terpisah pun tetap menjadi lukisan yang tidak terpotong," paparnya.

Untuk lukisan tersebut, dia dibantu rekannya sesama seniman, Syafri Ali, Morris Alexander Siregar, Eno, Darwis, Reka Arya dan Yasin Ronasly. Saat ini, dia punya dua tempat untuk memproduksi dan menyimpan koleksi lukisan. Satu di kawasan Belawan sementara yang lain di Jalan Mantri Medan. Kata Marah, kendati tidak lagi memproduksi lukisan berbahan pasir, Rusli mengatakan tetap akan membuat lukisan pasir jika ada yang memesan.

"Kalau di Belawan itu kebanyakan untuk produksi. Jadi setelah selesai, lukisannya ditaruh di Jalan Mantri," pungkasnya.(UKM05)


Tags

0 Komentar

* Nama
* Email
  Website
* Komentar Note: HTML tidak diterjemahkan!
Masukkan kata ke dalam box:
Portal UKM Kota Medan © 2024. Alcompany Indonesia.
All Rights Reserved